Dahlan, Moh and Asiyah, Asiyah (2019) Nalar Islam Kebangsaan Lukman Hakim Saifuddin. Penerbit Vanda. ISBN 978-602-6784-82-7
|
Text
NALAR ISLAM KEBANGSAAN LUKMAN HAKIM SAIFUDIN.pdf Download (4MB) | Preview |
Abstract
Paradigma ijtihad Islam kebangsaan dan kebhinekaan merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, kebangsaan sebagai wadah hidup kita bersama dan kebhinekaan sebagai arah berpikir dalam melakukan ijtihad Islam sehingga mampu melahirkan pemikiran-pemikiran Islam yang otentik dan aktual. Dengan menggunakan pendekatan pergeseran paradigma Thomas S Khun dan kerangka teori Trisakti Soekarno, maka hasil penelitian ini mengemukakan bahwa Pertama, Lukman menegaskan perlunya mengembalikan peran dan fungsi agama yang otentik, sehingga perlu ada pergeseran peran dan fungsi ormas keagamaan, yakni bagaimana agama berperan dan berfungsi untuk memberdayakan umat dan tanpa ada pembatas sebagaimana dalam sistem politik yang selalu ada pembatas dan penggolongan berdasarkan kepentingan, sedangkan agama termasuk ormas keagamaan bergerak dan bekerja di atas semua golongan dan kelompok untuk membangun kemaslahatan umat beragama secara keseluruhan. Dengan mengamalkan jati diri bangsa Indonesia yang moderat, maka kita menjadi bangsa yang besar, sejahterah dan maju. Kedua, Lukman menegaskan perlunya membangun paradigma biokrasi dari elitis menjadi pradigma birokrasi yang merakyat alias melayani kepada rakyat sesuai dengan spirit pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Itulah paradigma birokrasi yang otentik, yakni selalu responsif dan cepat-tuntas dalam melayani dan mengayomi rakyat. Oleh sebab itu, lima budaya kerja yang diprogramkan oleh Lukman Haki Saifuddin pada dasarnya adalah upaya konkrit dalam membangun paradigma birokrasi pemerintahan yang melayani. Dalam bahasa Bung Karno, kita perlu berdaulat dalam politik, sehingga pemerintah melalui Kementerian Agama selalu hadir dan dekat dengan masyarakat untuk memenuhi tuntutan 192 dan aspirasinya. Dengan sistem birokrasi yang melayani, maka kita akan berdaulat secara politik. Ketiga,Lukman menegaskan perlunya bersama-sama untuk membina dan membimbing umat dalam menjaga kemakmuran, toleransi dan kerukunan hidup beragama. Kita juga perlu meningkatkan pemahaman mengenai pluralitas, toleransi, dan kerukunan bagi umat. Otentisitas kerukunan bangsa akan terwujud dengan baik dan tulus jika hal itu didasari oleh nilai-nilai agama yang berwawasan kebhinekaan. Oleh sebab itu, perlu ada pergeseran paradigma pembangunan kerukunan umat beragama dari sekedar formalitas menjadi subantatif sehingga suasana kerukunan umat beragama yang menjadi harapan dan tujuan seluruh elemen bangsa dapat terwujud dengan tulus. Dalam bahasa Bung Karno dikenal dengan berkepribadian dalam budaya yang berarti bahwa pemahaman keagamaan kita harus berwawasan kebhinekaan dalam wadah NKRI. Keempat,Lukman menegaskan perlunya pendalaman dan sosialisasi konsensus hidup berbangsa agar menjadi landasan dalam membangun pemahaman Islam yang otentik, yakni pemahaman Islam yang tidak hanya lahir dari ruang kosong, tetapi pemahaman Islam yang lahir dari realitas empiris umat Islam di Indonesia sehingga selalu relevan dan aktual dengan kebutuhan empiris umat Islam di Indonesia. Gerakan ini merupakan upaya pergeseran paradigma dari paradigma Islam ekslusif yang selalu disuarakan kelompok fundamentalis/tradisional-konservatif menjadi paradigma Islam kebangsaan sebagai paradigma ijtihad Islam otentik yang memiliki spirit akomodatif terhadap setiap tatangan hidup umat dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, jika kita hendak menerjemahkan nilai-nilai Islam dalam tata kehidupan berbangsa, maka wujudnya sudah berbentuk paradigma objektifikasi Islam yang cenderung akomodatif dan otentik -meminjam bahasa Kuntowijo-, bukan paradigma eksternalisasi Islam yang cenderung formalistik dan tidak otentik. Dari jiwa diri bangsa Indonesia yang sejati/otentik ini dapat dipupuk kemandirian perilaku dan etos kerja yang mandiri. 193 Kelima,Lukman berusaha melakukan penataan peradigma pengembangan pendidikan keagamaan yang mengedepankan nilainilai keragaman etik, daerah, dan kekhasan lokal (multikultural). Pondok Pesantren juga dibuka di daerah-daerah 3T dan perbatasan dan pada saat yang sama dilakukan pertukaran guru dari Jawa ke luar Jawa. demikian juga pemerataan pendidikan tinggi keagamaan negeri (PTKN). Sebagai langkah untuk memajukan pendidikan keagamaan, Kementerian Agama meresmikan pesantren maritim untuk memberikan akses pendidikan keagamaan di daerah pesantren. Untuk membuka akses yang lebih luas dan kompetitif dengan dunia industri, Kementerian Agama melakukan kerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM). Demikian juga sebagai upaya mengakomodir keragaman potensi dan latarbelakang siswa/peserta didik, Kementerian Agama terus memperluas akses pendidikan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia di beberapa daerah. Pendidikan yang bermutu itu akan menjadi modal dasar dalam mewujudkan kemandirian bangsa. Dari uraian tersebut, paradigma Islam kebangsaan Lukman Hakim Saifuddin memiliki titik kelebihan dari konsepsi Trisakti Bung Karno, yakni dengan aksentuasi pada nilai-nilai agama, sehingga tidak hanya menarasikan budaya bangsa Indonesia secara global yang menjadi jati diri bangsa Indonesia, tetapi lebih masuk lagi pada esensi budaya bangsa Indonesia yang religius yang hendak dijadikan pondasi dalam membangun bangsa dan negara, sehingga paradigma penerapan Islam bagi Lukman bukan berarti hendak mengganti ideologi Pancasila dengan agama Islam, tetapi merupakan upaya mengisi spirit kerja dalam pembangunan bangsa Indonesia berdasarkan nilai-nilai agama (Islam), sehingga ada pergeseran dari konsep Trisak
Item Type: | Book |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Islam Kebangsaan, Lukman Hakim Saifuddin |
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BL Religion |
Divisions: | PASCASARJANA > Pendidikan Agama Islam |
Depositing User: | Syahril Syahril M.Ag |
Date Deposited: | 22 Apr 2019 08:35 |
Last Modified: | 12 Jun 2020 13:13 |
URI: | http://repository.iainbengkulu.ac.id/id/eprint/3000 |
Actions (login required)
View Item |